Skip to content
Home » Kisah Hatim Al Asham : 8 Pelajaran Dari Sang Ulama yang Dijuluki Si Tuli

Kisah Hatim Al Asham : 8 Pelajaran Dari Sang Ulama yang Dijuluki Si Tuli

Hatim Al Asham

Kisah Hatim Al Asham – Ilmu merupakan elemen terpenting dalam kehidupan, berjuta manusia rela menghabiskan waktu yang begitu panjang, harta yang begitu banyak dan perjalanan yang jauh hanya untuk meneguk setetes ilmu.

Semakin jauh manusia mencari semakin luas pulalah ilmu itu terbuka, semakin jauh menyelam semakin dalam pula lautan yang akan diselami tersebut begitulah sedikit gambaran yang bisa akita ambil dari esensi Ilmu pengetahuan.

Akan tetapi dengan semakin banyaknya ilmu yang dicari, sudah sampai di manakah pengamalan yang sudah diterapkan?, karena hakikat ilmu adalah pengamalan bukan hanya sebatas teori.

Seperti kata pepatah ilmu tanpa pengamalan ibarat pohon tanpa buah, bagaimana ketika pohon yang tak berbuah pohon tersebut hanya bisa diambil manfaatnya sebagai tempat berteduh saja akan tetapi manfaat yang lebih besar yaitu buahnya tak dapat dirasakan.

Bukankah tujuan kita menanam sebuah pohon untuk mendapatkan hasil yaitu buah yang dapat dipetik dan kemudian berbuah kembali dan memberikan kemanfaatan yang berlanjut, begitu juga seorang yang mengamalkan ilmunya, dapat memberikan kebermanfaatan untuk jangka waktu yang lama.

Itulah hakikat dari menuntut ilmu bukan dari seberapa lama dan seberapa banyak yang diperoleh akan tetapi seberapa jauh pengamalan yang telah di istiqomahkan.

Ada sebuah kisah menarik kisah ini dituliskan di dalam kitab Ya Ayyuhal Walad karya Imam Al-Ghozali yang dimana kitab ini ditulis atas kegelisahan seorang murid beliau yang telah berhasil menguasai berbagam macam ilmu, suatu hari ia merenung tentang dirinya sembari berkata “aku telah mempelajari banyak ilmu, dan sekarang alangkah baiknya jikalau aku mengetahui ilmu apa yang paling bermanfaat untuk hari kemudian dan menjadi penerang di alam kubur”.

Kegelisahan ini terus menyelimuti hingga ia memutuskan menulis surat kepada gurunya untuk meminta fatwa dan nasihat dan dari kegelisahan seorang penuntut ilmu inilah, lahir salah satu maha karya monumental Imam Ghazali.

Diantara nasihat-nasihat beliau yang sangat indah kepada para penutut Ilmu dan pengembara jalan tuhan ada sebuah kisah tentang pelajaran-pelajaran apa saja yang dapat kita ambil dari penegmbaraan mencari ilmu selama ini.

Dituliskan di dalam kitab yang sama yaitu kitab Ya Ayyuhal Walad kisah ini dari seorang Ulama besar yaitu Hatim Al-‘Ashom.

Suatu ketika gurunya Syekh Syaqiq Balki bertanya kepadanya “Wahai anakku, sudah berapa tahun engakau bersamaku” hatim menjawab “ Tiga puluh tahun” lalu sang guru bertanya kembali “ilmu apa saja yang telah kau peroleh dan berapa banyak pelajaran yang telah kau ambil dari ku” kemudian hatim menjawab “aku menerima 8 pelajaran dan itu sudah cukup bagiku’.

Dari hasil pengembaraan hatim yang begitu lama, bertahun-tahun ia mendapatkan delapan pelajaran yang dengan delapan pelajaran tersebut sudah cukup untuknya, pelajaran-pelajaran yang di peroleh hatim yang pertama yaitu ia memperhatikan disekelilingnya betapa banyaknya makhluk yang memiliki kekasih dan kesukaan.

Sebagian pasangan kekasih itu ada yang setia menemani sampai akhir hayat, sampai ketepi kubur. Akan tetapi setelah itu mereka kembali pulang dan meninggalkannya sendiri. Tak ada satupun dari mereka yang mau menemani kekasihnya sampai kedalam kubur.

Maka dari itu pelajaran yang di dapatnya dari penomena ini adalah kekasih yang paling baik adalah yang mau menyertaimu di dalam kubur, akan tetapi kita tak akan menemukan kekasih seperti ini kecuali amal shaleh.

Maka dari pada itu aku menjadikan amal shaleh sebagai kekasihku yang setia menemaniku sampai kedalam kubur, dan ia tidak hanya sekedar menemani akan tetapi ia juga sebagai lentera, penghibur dan tak pernah meninggalkanku seorang diri.

Pelajaran kedua yang diperoleh hatim yaitu ia memperhatikan manusia yang mengikuti hawa nafsunya dan tergesa-gesa dalam memenuhi keinginan nafsunya. Dan ia merenungkan firman Allah di dalam Q.S an-Naziat : 40-41 yang artinya “ Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya maka sesungguhnya, surgalah tempat tinggalnya.

Setelah merenungkan firman Allah ini ia pun segera menentang segala hawa nafsunya dan berjuang keras melawannya dan tidak memanjakan keinginan sampai akhirnya ia ridho atas segala ketetapan Allah SWT.

Kemudian pelajaran ketiga yaitu kita sering melihat orang berusaha dan bersusah payah mengumpulkan dan bersusah payah mengumpulkan hal-hal yang bersifat duniawi, lalu menggenggamnya kuat-kuat. Kemudia mari kita renungkan firman Allah “apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada disisi Allah adalah kekal” ( Q.S an-Nahl: 96). Setelah ia merenungkan ayat Allah ini ia belanjakan seluruh hartanya untuk meraih ridho Allah SWT.

Pelajaran keempat dari kisah Hatim Al Asham yaitu, ia memperhatikan sebagian makhluk yang mengira kehormatan dan kedudukan serta kejayaan terletak pada banyaknya pendukung sehingga mereka tertipu. Sebagian yang lain mengira, kehormatan dan kedudukan terletak pada harta yang melimpah, kekayaan dan kedudukan yang tinggi.

Mari kita renungkan Firman Allah “sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa” (Q.S al-Hujurat: 13).

Dan setelah merenungkan ayat ini akupun memilih jalan takwa karena mendapat jaminan langsung dari Allah SWT bukan seperti dugaan dan prasangka yang menipu.

Selanjutnya pelajaran yang kelima dari seorang Hatim ialah ia melihat manusia saling mencela, kemudian ia mengetahui bahwa hal tersebut disebabkan oleh sifat iri terhadap harta, pangkat dan ilmu lalu ia merenungkan firman Allah SWT “Kamilah yang menentukan penghidupan mereka” (Q.S az-Zukhruf : 32).

Kita tau bahwasanya rizki telah diatur oleh Allah sejak zaman azali. Maka dari itu jangan pernah merasa dengki kepada siapapun dan ridho dengan ketetapan yang telah ditetapkan Allah SWT.

Pelajaran keenam, kita menyaksikan betapa banyak manusia yang saling bermusuhan satu dengan yang lain dikarenakan sebab-sebab tertentu. Mari kita renungkan firman Allah SWT “sungguh, setan itu musuh bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai musuh” (Q.S Fatir: 6).

Setelah itu, kita mengetahui bahwa memusuhi orang lain tidak benar, karena musuh kita yang sesungguhnya adalah setan.

Pelajaran ketujuh, ia melihat setiap orang berusaha sekeras-kerasnya merendahkan diri sendiri untuk mencari makanan sehingga terjerumus kedalam perkara haram dan syubhat, bahkan sampai rela merendahkan diri sendiri. Hal ini membuat Hatim merenungkan salah satu firman Allah”tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) dibumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya” (Q.S Hud :6).

Kita pun sadar bahwasanya rezeki berada dalam kekuasaan Allah. Dia telah menjamin rezeki, oleh karena itu jangan pernah berharap kecuali hanya kepada Allah SWT.

Dan pelajaran yang terakhir dari kisah Hatim Al Asham yaitu, sungguh kita melihat setiap orang bersandar kepada sesuatu yang diciptakan Allah, ada yang bersandar pada harta benda dan kekuasaan, Sebagian lagi bergantung pada kedudukan dan ada yang bersandar pada makhluk yang lain.

Padahal Allah SWT telah berfirman ”siapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya dia akan mencukupkan (keperlunnya). Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendakinya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi segala sesuatu”. (Q.S ath-Thalaq : 3). Maka daripada itu bersandarlah hanya kepada Allah swt. Dialah yang mencukupkan dan satu-satunya tempat berserah diri.

Kemudian setelah Hatim menjelaskan semuanya kepada gurunya kemudian gurunya berkata “bagus wahai anakku, sungguh aku telah membaca kitab Taurat, Zabur, Injil dan Al-Quran dan mengetahui keempat kita ini tidak keluar dari delapan pelajaran yang telah kau peroleh tadi, siapa yang mengamalkan delapan pelajaran ini, ia telah mengamalkan keempat kitab ini.”

Kisah hatim al asham

Dari kisah kisah Hatim Al Asham diatas kita dapat memetik hikmah bahwasanya dalam mencari ilmu bukan betapa banyak ilmu yang sudah kita kuasai akan tetapi betapa banyak ilmu yang telah kita amalkan, karena esensi dari ilmu adalah pengamalan.

Seperti kata pepatah apabila kita menghendakki ilmu maka belajarlah dan pengamalan adalah hasil dari ilmu serta barokahnya ilmu itu dengan mengabdi.

Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *